Pengunjung

Viewers

Powered by Blogger.

Label

Translate

Popular

Contributors

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Era Manual dan Digital


Foto ini adalah salah satu foto yang berhasil dari sekian roll foto konser. Proses belajar saya pada saat fotografi manual selalu menarik untuk saya ingat. Mumpung masih ingat, berikut ini beberapa pemikiran-pemikiran yang terbentuk di benak saya waktu itu dan perbandingannya dengan era digital:


Berdoa sebelum memasang roll film, tidak boleh meleset. Layaknya berperang, amunisi kita adalah roll film. 100% tidak boleh error. Masih segar dalam ingatan saya, yang diajarkan pertama kali pas megang kamera manual adalah memasang roll. Beda kamera, beda teknik masangnya. Puhhh, ribet juga kan. FM2 misal, adalah kamera farovit, kebanyakan 100% roll "nyantol" alias berfungsi. 
Sekarang, dalam fotografi digital semua foto tersimpan di memori card. Pastikan anda mempunyai memori card yang cukup saat pergi hunting atau kerja. Dan yang lebih penting lagi adalah card reader. BELI CARD READER YANG BAGUS sekalian. Mengapa? Karena card reader yang jelek terkadang bisa merusak memori, bahkan menghilangkan foto dalam memori card.
Akibat kalo film tidak "nyantol dengan sempurna"


Zoom terbaik adalah kaki. Ya mau ndak mau harus mau, lha lensaku lensa 50mm. Namun bukan itu inti dari semuanya. Dalam konteks fotografi dokumenter, semakin kita bisa mendekat kepada obyek foto kita, kita berinteraksi, ngobrol, semakin enak pula kita dalam memotret. Personal approach lah istilahnya. Kaum ekstrimis, seperti teman saya Iplik, bahkan me-lakban lensa 18-50mm di angka 35mm ato 50mm. Hal ini terinspirasi Quote populer dari Robert Cappa "If your photographs aren't good enough, you're not close enough." Metode-metode pembelajaran yang saya terima juga seperti itu. Awalnya saya berontak, lama-lama terbiasa dan suka. Intinya adalah melatih kita untuk mendekat kepada obyek foto kita.
Teknik ini masih diterapkan di era digital, baik dalam dunia jurnalistik maupun dunia komersil. Produsen lensa saat ini lagi getol-getolnya memproduksi Prime Lenses (lensa fix tanpa zoom) dengan bukaan f/1.2 - f/2.0.



One shot one kill. Menjaga agar banyak foto yang bisa "dipakai" ya satu-satunya dengan cara ini. Dengan inti Komposisi tepat Pencahayaan Tepat. Melakukan hal ini ya susahnya minta ampun, saya tidak pernah berhasil menghasilkan 36 foto yang layak dalam 1 roll. One shot One kill itu bukan maksud irit lho ya, namun lebih rapi aja pola pikir kita dalam mengambil moment, apapun itu.
Zaman digital teknik ini jarang dipakai, dengan adanya teknologi bracketing dan kecepatan shutter yang bisa mencapai 10 frame per detik, kita akan mendapatkan foto dengan momen terbaik. Untuk melatih kepekaan di jaman digital, saya dulu diajari untuk tidak sering-sering melihat foto di lcd kamera, karena lcd sering menipu dan kita akan ketinggalan momen kalau terlalu sering lihat lcd kamera.

Cari tandem buat hunting serta berkompetisi. Untuk mencari suasana kompetisi yang sehat, saya pribadi dulu menanamkan bahwa harus ada seorang kompetitor dalam urusan fotografi. Dari situ akan ada usaha untuk mengalahkan kompetitor saya. Kompetisi ini bukan dalam artian sesungguhnya. Di era digital, saya mereferensi fotografer-fotografer via internet. 

Segera habiskan film dan proses filmnya. Saat manual saya dan teman-teman sering saling pinjam kamera, baik buat hunting pribadi ataupun nge-job. Namun ada kebiasaan yang agak aneh, terkadang filmnya belum habis, yaaaa sisa 5-10 frame. Artinya si peminjam mendapat pinjaman kamera manual plus bonus sisa film tadi, enak kan?!! Yang paling menarik adalah pada saat memproses film, perasaan deg-deg-ser pasti ada. Maklum takut hasil hunting 1 roll tidak jadi. Sekarang dengan adanya teknologi memori card, kita tidak perlu lagi menghabiskan sisa film kan, jauh lebih praktis. Kita juga langsung bisa preview hasil foto kita di laptop atau PC. 


Map bening A4. Map saya gunakan untuk menyimpan negatif-negatif saya yang udah di proses. Selain itu juga saya gunakan untuk koleksi cetakan foto-foto 10Rs. Sekarang anda perlu membeli harddisk karena semua mempunyai format digital, bahkan sebagian negatif saya scan biar bisa jadi format digital.

Tetap semangat walau 1 roll tidak ada yang jadi. Pulang dengan membawa banyak foto gagal adalah lumrah. Untuk itu saya harus belajar lagi dari buku, Fotomedia, dan sering lihat foto dari koran atau majalah. Sekarang saya lebih banyak belajar dari internet, karena banyak wawasan yang masih belum saya ketahui seputar fotografi.
Contoh contact sheet 1 roll hasil motret konser Glenn di Malang (tahun 2002 kalo tidak slah) dan menurut saya tidak ada yang bagus.

Darkroom. Nahhh ini yang paling menarik di saat fotografi manual. Sangat menyenangkan lho mencetak foto hitam putih di darkroom. Berkutat dengan chemical macam fixer, developer, stopbath, membuat saya kangen untuk mencetak foto hitam putih. Teknik dodging, burning, framing, semuanya dilakukan secara manual. Pokoknya menyenangkan. Saya belajar manual darkroom di klub fotografi JUFOC (Jurnalistik Fotografi Club). Sekarang darkroom menggunakan software, olah foto digital lebih populer dengan istilah digital darkroom. Semua teknis yang ada di manual darkroom dikonversi ke wujud digital, jadi semua orang lebih dimanjakan oleh software. (sumber foto)



Semoga bermanfaat. 2w_^

Tag : infotografi
0 Komentar untuk "Era Manual dan Digital"

Back To Top